![]() |
Ist |
Menjemput senja diantara teriknya hujan.
Berlalu meyakini hidup baik baik saja hingga tak tahu cara pulang. Namaku Rania. Hidup di antara ilalang yang tumbuh bagai fatamorgana, berlalu menjadi sebuah keajaiban. Kata ibuku.
Aku memiliki saudara kembar. Rinaya. Sedari kecil kami tak terpisah. Rinaya adikku, tubuhnya kurus, ceking makan banyak tak akan pernah membuatnya gemuk, seolah lemak takut pada tubuhnya. Berbeda denganku sekali bernafas, timbanganku naik sekilo. Kami selalu bersama hingga takdir memilih kami untuk berpisah.
Rinaya adikkku memilih pergi menjadi seorang perantau di tanah orang. Sedang aku menetap di tanah kelahiranku. Memilih bersama ibuku yang telah renta dimakan usia. Lagipula, semua saudaraku telah memilih takdirnya. Ada yang ikut bersama suami. Ada yang ikut bersama istri dan parahnya lagi, kakakku yang tertua tak pernah pulang. Namanya Izal. Bukan tak ingin pulang melainkan posisinya tak mengizinkannya pulang ke tanah air. Rindu? Tentu saja. Kerinduannya selalu buncah ketika Izal melihat wajah ibuku yang menatap anak pertamanya itu. Aku hanya menguatkan setiap kali ibu menutup telepon dari kak Izal.
" Doakan kak Izal, Bu. Semoga bisa menjadi warga legal. Agar bisa pulang ke tanah air melihat ibu,"
Ibuku menyeka air matanya yang tertahan di pelupuk. Aku tahu, rindu itu begitu kejam. Air mata menjadi sebuah pelampiasan dari kejamnya rindu. Begitupula takdir yang memisahkan anak dari ibunya demi keadaan.
Aku tak bisa menyalahkan rindu dan takdir karena keduanya adalah hukum alam yang tak pernah diketahui manusia termasuk aku.
" Doaku tak pernah putus untuk kakak dan adikmu, Nak. Begitupun dengan kamu," Kata Ibu mencoba tegar. Ayahku yang duduk di serambi rumah, hanya mampu menghela nafas. Ayahku juga sudah tua. Dia tak kuat lagi seperti dulu yang sering bertarung dengan ombak di laut pasifik. Ayahku memutuskan untuk pensiun dari pekerjaannya. Ayahku menikmati masa tuanya bersama ibu. Kata Ayah, meski anaknya memilih pergi, Dia tidak keberatan sama sekali yang terpenting ada Ibu di sisinya. Sungguh romantis menurutku. Apakah aku akan mendapatkan suami seperti Ayah yang tak pernah ingin pisah dari Ibuku walau sedetik pun? Entahlah. Perjalananku masih panjang.
Penulis : Andin 354